Komunitas Film Maker Kendari “Netas Lagi”..!!

Tepatnya tanggal 25 agustus 2008, secara resmi komunitas film maker kendari bertambah 7 komunitas..yaitu Profile Production (Nothing School is Perfect), Coba-coba Production (Abdiku untuk sekolah), Roda Gila Production (only STM), Dream’vie Production(Ini mhie saya), Alone Production (City of Art), Mantap Production (Susahnya Menjadi Ketua Osis) dan Ketupat Production(…….).

komunitas-komunitas ini lahir dari pelatihan film documenter yang diselenggarakan oleh MMC Kendari dan Balai Teknologi Pendidikan Sultra pada taggal 18 agustus-25 agustus 2008..tema yang di sajikan dalam film yang mereka buat beragam mulai dari Edukasi sampai Sosial yang di putar pada saat penutupan pelatihan pada tanggal 25 agustus.

Bersama dengan MMC kendari komunitas-komunitas ini membangun komitmen untuk membangun kota kendari melalui audio visual, peka terhadap masalah yang ada disekitar mereka dan memproduksi film sebagai alternatif jalan keluar dari masalah tersebut..

4 kata sebagai penutup ……..”POKONYA KENDARI..GO..FILM”……….

Published in: on Agustus 31, 2008 at 9:34 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  

Perkembangan Film Indie di Indonesia

IMG_4869Image by qronoz via FlickrPara pegiat film indie dari berbagai kota di Indonesia telah banyak menunjukkan aktifitas berkaryanya. Tak ada keharusan bagi para pegiat itu untuk terlebih dahulu mendalami teknik-teknik sinematografi. Sesuai dengan semangat independen, tak perlu ada ketergantungan pada teori-teori yang telah mapan. Tetapi dalam berbagai even festival film indie, terbukti karyakarya mereka sangat mengagumkan di mata para juri yang rata-rata adalah empu-empu sinematografi Indonesia. Menarik untuk di bahas bagaimana perkembangan film indie di Indonesia, dan bagaimana para pegiat tersebut belakangan ini telah menjadi motor penggerak pertumbuhan kembali perfilman nasional.

Dalam buku Ketika Film Pendek Bersosialisasi, Gotot Prakoso banyak memberikan gambaran sejarah dan perkembangan film independen di Indonesia, yang oleh Gotot disebutnya sebagai film pendek. Bagi Gotot, film pendek merupakan film yang durasinya pendek, tetapi dengan kependekan waktu tersebut para pembuatnya semestinya bisa lebih selektif mengungkapkan materi yang ditampilkan. Dengan demikian, setiap ‘shot’ akan memiliki makna yang cukup besar untuk ditafsirkan oleh penontonnnya. Ketika pembuat film terjebak ingin mengungkapkan cerita saja, film pendek seperti ini akan menjadi film panjang yang dipendekkan karena hanya terikat oleh waktu yang pendek. Menurut Gotot, sejarah pergerakan film pendek Indonesia diisi dengan penggalan-penggalan peristiwa. Berbagai peristiwa itu menandai suatu usaha yang sekaligus memberi perlawanan terhadap situasi perkembangan film Indonesia secara utuh. Sayangnya, secara formal para peneliti sejarah film Indonesia sampai sekarang hanya tertarik pada film-film mainstream yang beredar di gedung-gedung bioskop sebagai bagian dari sebuah industri budaya pop. Adapun, pergerakan film pendek Indonesia dianggap tidak menarik karena dianggap tidak masuk dalam ikatan industri itu.

Oleh kalangan akademisi dan seniman film Institut Kesenian Jakarta (IKJ), film independen memang lebih banyak disebut sebagai film pendek. Seperti diakui Gotot, soal
penamaan istilah ini memang beragam. Ada orang menyebut film indie, independen, dan juga film pendek. Bahkan kalangan seniman film Yogyakarta, film semacam ini disebut sebagai film ‘wayang’. Istilah ‘wayang’ ini diadopsi dari pengertian film masa lampau yang menyebutkan bintang film (artis) sebagai ‘anak wayang’ sehingga jika jenis film ini dianggap sebagai semacam wacana, Gotot membiarkan peristilahan itu berkembang sebebas-bebasnya. Jika hanya dipatok dengan istilah indie, nanti bisa jadi orang akan menghubungkannya dengan film masa lampau Indonesia. Kalau menyebut independen, bisa jadi orang akan mempertanyakan independen dalam soal apa. Sampai saat ini, Gotot yang sering menjadi juri film pendek di tingkat nasional ataupun internasional, masih menggunakan istilah film pendek. Selanjutnya, Gotot menambahkan bahwa sejarah film pendek Indonesia bergerak sendiri di luar industri film yang ada. Namun kenyataannya, film-film pendek Indonesia kini telah banyak mendapat perhatian dan penghargaan dari luar negeri. Banyaknya forum di luar negeri seperti festival film yang mengundang film-film pendek untuk dipertunjukkan dan dibahas. Dengan demikian, film pendek tersebut telah menjadi public relations untuk perfilman Indonesia, menggantikan film-film mainstream Indonesia yang kurang berbicara di forum internasional.

Melihat kilas balik pergerakan film pendek atau film independen bisa dimulai dari awalnya, yakni tahun tujuh puluhan ketika berdirinya Dewan Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (DKJ-TIM) dan pendidikan film pertama di Indonesia. Pada saat itu, mulai popular media film 8 mm yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. DKJ-TIM membuat Lomba Film Mini yang mengakomodasi munculnya film-film pendek buatan para amatir, para seniman di luar film, dan mahasiswa termasuk mahasiswa sinematografi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ, yang kemudian berubah menjadi IKJ). Dari aktivitas lomba dan gencarnya DKJ-TIM mengadakan pekan film pendek dan alternatif, memunculkan gerakan pertama oleh anak-anak muda yang menamakan diri “Sinema Delapan’. Gerakan ini mencoba memunculkan karya-karya film dengan media 8 mm dengan semangat yang besar untuk menantang tata cara pembuatan film di industri film Indonesia yang saat itu mengalami booming yang luar biasa (satu tahun rata-rata berjumlah 125 judul). Sayangnya hanya dengan modal semangat, gerakan ini tidak bisa bertahan lama. Tidak banyak orang yang terlibat dalam pergerakan, kecuali hanya segelintir mahasiswa film LPKJ. Gerakan ini usianya tidak lebih dari satu tahun, walaupun para anggotanya telah memproduksi sejumlah film pendek.

Pada awal tahun delapan puluhan, muncul ‘Forum Film Pendek (FFP) yang digagas oleh banyak orang, khususnya dengan bergabungnya beberapa seniman di luar film dan juga dari kalangan industri film serta anak-anak muda, mahasiswa UI, IKIP, dan IKJ yang juga sudah membuat karya film. Forum ini cukup bisa menciptakan isu nasional dan banyak melakukan pemutaran film dan apresiasi film hingga ke Medan, Bali, dan Lombok. Sebagai sebuah gerakan, cukup kokoh dan sanggup menginventarisasi karya-karya film pendek. FPP juga menformulasikan film pendek sebagai film alternatif dan independen. Forum ini bergerak aktif di tahun awal delapan puluhan hingga pertengahan delapan puluhan. Misi FPP adalah gerakan seni melalui film film dan eksplorasi ke luar negeri. Pada saat inilah dimulainya filmfilm pendek Indonesia mengikuti berbagai festival di luar negeri. Pada pertengahan sembilan puluhan, muncul gerakan ‘Sinema Gerilya’, sebuah istilah yang dilontarkan oleh Seno Gumira Adjidarma, seorang sastrawan dan pemerhati film yang bereaksi atas surutnya produksi film nasional. Seno melihat secara ekstrem bahwa produksi film alternatif sudah selayaknya menggantikan posisi film nasional. Pada saat ini, walaupun produksi film Indonesia surut, justru ada beberapa film yang dikategorikan sidestream atau film-film seni banyak berbicara di forum internasional. Oleh karena itu, sudah selayaknya semangat ‘Sinema Gerilya’ harus dimunculkan (Prakosa, 2001:10-13).

Film pendek berhubungan dengan cerita yang pendek, tetapi bermakna besar, sebagaimana terjadi dalam dunia visual art, telah mengalami berbagai eksplorasi dari bentuk dan kreasi yang menghasilkan style yang sangat khas. Karya Luis Bunuel, Maya Deren, dan karya-karya yang dibuat oleh Stan Brakhage atau Andy Warhol telah lebih jauh memberi komentar dengan style MTV dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebelumnya dalam produksi film main-stream. Pembuat film seperti Stan Brakhage yang tertarik dengan proses menumpuk-numpuk gambar bukan menciptakan efek, melainkan banyak mewujudkan nilai simbolik sebagaimana terjadi pada refleksi diri dan mewujudkan dengan peralatan untuk menjadi manipulasi kemudian disampaikan dalam bahasa visual. Beberapa pembuat film pendek memosisikan diri sangat stylistic seperti halnya minimalis Andy Warhol. Sebenarnya posisi style-nya sangat jelas sebagai lawan yang memosisikan isinya, bahwa pengalaman dari film-filmnya menjadi komentar dalam medium melebihi interpretasi atas lingkungan atau dunia secara umum. (Prakosa, 2001: 25-26).

Jika diamati, ternyata banyak film independen kita yang sudah berjaya di luar negeri. Sebut saja, misalnya, film Revolusi Harapan karya Nanang Istiabudhi yang mendapatkan Gold Medal untuk kategori Amateur dalam The 39th Brno Sexten International Competition of Non-Comercial Featur and Video di Republik Cekoslovakia (1998). Juga film Novi garapan Asep Kusdinar masuk nominasi dalam Festival Film Henry Langlois, Perancis (1998).

Dalam Singapore Internasional Film Festival (1999), lima film pendek Indonesia ikut berlaga, yakni film Novi karya Asep Kusdinar, Jakarta 468 karya Ari Ibnuhajar, Sebuah Lagu garapan Eric Gunawan, Revolusi Harapan kreasi Nanang Istiabudhi, dan Bawa Aku Pulang buah karya Lono Abdul Hamid.

Film-film independen inilah yang mewakili Indonesia di forum-forum internasional. Selain film-film tersebut, masih banyak lagi film yang unjuk gigi di luar negeri. Kalau kini orang ramai membicarakan maraknya film independen, akarnya sebenarnya sudah ada sejak tahun tujuh puluhan. Jika fenomena ini merupakan suatu gerakan, bisa jadi nantinya pertumbuhan film independen tidak berlangsung lama sebab hanya sesaat sesuai dengan semangat sebuah gerakan. Akan tetapi, jika film independen ini dijadikan sebuah sikap bersama, seperti Manifasto Oberhausen (1962), Deklarasi Mannheim (1967), Deklarasi Hamburg (1979), dan Deklarasi Munich (1983), film independen Indonesia bisa jadi merupakan pre-condioning untuk kebangkitan sinema Indonesia baru (istilah Jiffest) secara menyeluruh.

Selain aspek misi dan penggarapan, film independen juga biasanya tidak dipatok dengan durasi seperti kebanyakan film mayor. Dalam beberapa event festival indie, sering film-film yang dikirimkan tidak berdurasi lama, tetapi masa tayangnya hanya sekitar 10-25 menit. Mengapa demikian? Film independen tidak melibatkan pemodal yang kuat sehingga untuk memproduksinya tidak harus menunggu dana cair dari seorang konglomerat atau pengusaha. Bagi penggiat film indie, jika mereka mempunyai dana untuk membeli kaset, makan/minum selama produksi hingga editingnya saja, dirasakan sudah cukup. Pemainnya terkadang tidak dibayar. Alat yang digunakan juga tidak harus menggunakan movie camera atau kamera Supercam VHS, betacam, atau kamera digital yang kini lagi ngetren. Terkadang dengan camera handycam pun jadi.

Di negara-negara maju seperti Meksiko, Australia, Amerika, Jerman, Perancis, Inggris, Iran, dan Jepang, para pembuat film indie semakin mendapatkan tempat di hati penonton. Sebagai contoh Iran; negara Islam ini terkenal dengan film-film humanisnya. Meskipun dikemas dalam frame film indie, mereka mampu membuat film yang enak ditonton dan menyiratkan nilai kemanusiaan. Tidak jarang film-film mereka mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat dunia seperti pada ajang bergengsi, Academy Award, beberapa kali film Iran masuk nominasi.

Beberapa bulan yang lalu, sebuah produk rokok yang mencoba membuat kegiatan pelatihan film bagi pemula, yakni anak-anak usia SLTP. Usaha ini merupakan upaya mencari bibit para sineas film di tengah-tengah industri sinetron yang sering kehilangan akal. Kini banyak sinetron sebagai bentuk lain dari film mayor yang hanya betul-betul mengejar jam tayang serta masuk dalam sindikasi sinetron di Indonesia. Mereka yang biasa tayang di prime time justru kurang memiliki nilai artistik film yang menarik. Terkesan asal jadi dan muatannya sering keluar dari nalar dan logika kita. Untunglah muncul genre film televisi yang mampu memboyong sineas lama untuk ikut andil dalam revitalisasi film nasional. Namun, tetap ada titik jenuhnya sebab film-film televisi semacam ini juga akhirnya terjebak ke dalam mekanisme ‘kejar tayang’, yang seminggu sekali harus ke luar film televisi. Sementara itu dalam penggarapannya, lama kelamaan cenderung asal-asalan dan kurang greget. Selanjutnya, perkembangan istilah film independen di negara kita sebetulnya untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Komunitas Film Independen (Konfiden) yang berdiri pada 1999. Tampaknya, apa yang dilakukan Konfiden mengacu kepada Image Forum, yakni organisasi film nirlaba yang menitikberatkan pada film eksperimental di Jepang. Organisasi ini dideklarasikan dengan mengadakan kegiatan Festival Film dan Video Independen di Indonesia, yang sudah dilakukan dua kali, 1999 dan 2000 yang lalu. Dalam konteks ini, pengertian independen adalah mandiri, tidak terikat oleh berbagai ikatan. Bahkan, baik pendanaan, pembuat keputusan, pencarian ide maupun sistem peredarannya diusahakan mandiri. Hal yang hingga kini masih perlu diapresiasikan kepada masyarakat luas. Mungkin saja meminjam keberhasilan anak-anak muda yang membuat film secara independen seperti Mira Lesmana, Rudi Soedjarwo, Hary ‘Dagoe’ Suharyadi, Nanang Istiabudhi, dll. Menjadi triger untuk memacu tumbuhnya budaya penciptaan film dengan spirit mandiri. Sebetulnya sistem mandiri ini sudah pernah dirintis oleh Umar Ismail pada tahun lima puluhan. Seterusnya, setiap generasi memiliki pemberontakan terhadap suatu kekuasaan yang dianggap telah stagnan atau bahkan menjadi mapan. Oleh karena itu, demi perkembangan dunia sinema itu sendiri, semangat pemberontakan itu sangat diperlukan. Sebagaimana dicatat oleh sejarah film dunia, mereka yang tadinya memberontak itu kemudian menjadi penguasa lingkungannya seperti kelompok The Movie Brats, yang suatu saat menjadi penguasa Hollywood. Bahkan, pengaruhnya sangat kuat pada industri film di Amerika.

Kelahiran lembaga seperti yang dikelola, diantaranya, oleh Lulu Ratna, Dwi Aryo, Dono, dan Haikal patutlah didukung. Karena toh maksudnya mulia, yakni melakukan apresiasi film terhadap masyarakat dengan kontinyu, melakukan berbagai workshop, melaksanakan
festival film untuk mengumpulkan film, dan video yang tercecer, tetapi sekaligus akan mencatatkan seberapa banyak film yang mandiri itu telah diproduksi di negara kita (Prakosa, 2001:113-114).

Selanjutnya, di beberapa kota muncul juga lembaga nirlaba sejenis yang sama-sama menggunakan ‘independen’, seperti Bandung Independent Film d a n Komunitas Film Yogyakarta. Juga semakin bergairahnya Kine Klub di kampus-kampus. Momen yang pernah diselenggarakan SCTV dengan Festival Film Independen Indonesia (FFII) 2002 nyata sekali merupakan stimulus bergairahnya para penggiat film independen. Kini SCTV kembali akan menggelar FFI 2003 yang kedua kalinya dengan dua kategori, amatir dan profesional. Tidak hanya kalangan mahasiswa, tetapi juga pelajar dan umum yang melihat momen sekarang ini tepat untuk mengekspresikan impuls kesenian filmnya.

Dengan memahami uraian di atas, tidak ada lagi pemahaman bahwa membuat film adalah monopoli para pemilik modal. Fenomena film indie seharusnya menjadi penyemangat para pemula untuk menggeluti pembuatan film. Jika karyanya menarik, tentunya lembaga semacam Konfiden bisa membantu untuk mengirimkannya ke forum-forum internasional. Secara korespondensi, sineas-sineas muda bisa berhubungan dengan organisasi sejenis yang ada di berbagai belahan dunia lainnya sebab pembuat film independen memang tidak sendiri. Hampir di seluruh dunia, orang mempunyai hak yang sama atas film independen, karena begitu independenya film independen ini.

Published in: on Agustus 31, 2008 at 5:10 pm  Comments (1)  

Pertimbangan Dalam Membeli Handycam

Sony DV HandycamImage via Wikipedia Handycam atau camcorder semakin populer belakangan ini. Desain yang semakin kompak, kualitas yang lebih baik, dan harganya yang semakin terjangkau membuat perangkat ini mulai banyak diminati. Berikut ini dibahas tentang hal-hal yang perlu diperhatikan untuk membeli handycam.

Bandingkan Analog dengan Digital
Selain masalah harga, salah satu hal utama yang perlu kita perhatikan adalah apakah kita akan menggunakan format digital (Digital 8, miniDV), atau format analog (Hi8, VHS, VHS-C, Super VHS-C). Umumnya, kita akan memperoleh hasil yang lebih baik dengan format digital yang lebih baru. Format 8mm, VHS, dan VHS-C memiliki resolusi video yang rendah. Format Hi8 dan SVHS-C mulai memperbaiki resolusi image dan kualitas suara, tetapi masih kalah dengan format digital. Sedangkan format digital video (DV, Digital 8, atau Mini DV) telah mampu menyediakan tingkat tertinggi dalam hal kualitas video dan audio. Selain kualitas yang lebih baik, format digital juga memudahkan kita melakukan penyuntingan video melalui PC. Namun memilih format digital berarti kita harus rela mengeluarkan uang lebih banyak. Jika kualitas tidak begitu menjadi pertimbangan, dan kita tidak perlu menyunting rekaman video kita, kita bisa memilih kamera analog dan itu berarti menghemat anggaran.

Pertimbangan Anggaran
Handycam digital baru harganya berkisar US$450-US$ 1200. Ada banyak pilihan yang cukup bagus dalam kisaran harga tersebut. Biasanya, semakin mahal harganya, semakin banyak feature yang akan kita peroleh. Tetapi kadang-kadang feature tersebut tidak kita perlukan. Pertimbangkan fasilitas-fasilitas yang benar-benar kita butuhkan untuk menekan anggaran kita. Beberapa faktor utama yang membedakan kamera yang harganya US$ 500 dengan kamera-kamera yang lebih mahal adalah:
– Berfungsi ganda. Beberapa hand-cam memiliki kemampuan untuk menangkap image dalam (foto) atau digital still capability. Artinya, kita tidak perlu menenteng dua kamera dalam perjalanan kita. Namun perlu diketahui, beberapa handycam juga menyimpan still image (foto) dalam kaset yang juga digunakan untuk menyimpan rekaman video sehingga kita memerlukan program khusus untuk menangkap image tersebut.
Beberapa handycam baru telah menyediakan media penyimpanan tambahan atau slot untuk kartu memori, seperti Memor yStick atau Compact Flash sehingga kita lebih mudah dalam menyimpan foto tersebut. Perlu diingat, kebanyakan handycam hanya memiliki resolusi 640×480 sehingga foto yang kita tangkap tersebut mungkin kurang begitu bagus ketika kita cetak, tetapi sangat mencukupi untuk e-mail atau kebutuhan posting di Web.
– Kualitas Lensa. Lensa ibarat mata dari kamera kita, yang memindahkan image ke dalam bit-bit digital. Semakin besar rupiah yang kita bayarkan, kualitas lensa biasanya semakin baik.
– Optical Stabilization. Banyak hand-cam telah memasukan feature menarik yang disebut image stabilization untuk membantu mengkoreksi getaran kamera. Merekam obyek sambil jalan, atau merekam obyek yang bergerak cepat dapat menciptakan image yang bergetar yang membuat penonton pusing. Kamera high-end biasanya menyertakan optical stabilization. Beberapa kamera yang lebih murah juga menyertakan sistem digital stabilization, tetapi kualitasnya tidak sebagus optical stabilization.
– Zoom. Kebanyakan handycam memiliki kemampuan zoom optis 10X – 20X dan zoom digital 10X – 20X juga, sehingga total bisa menghasilkan zoom 300X – 400X. kita sendiri mungkin tidak akan banyak menggunakan zoom digital, karena feature ini kadang-kadang menimbulkan efek negatif yang cukup banyak pada kualitas gambar. Untuk itu kita perlu lebih memperhatikan zoom optis.
– Lampu. Sebagian besar handycam mampu menangani tugasnya dengan baik dalam merekam gambar meskipun dalam kondisi cahaya yang redup (misalnya di dalam ruangan atau dalam cuaca mendung). Suatu saat, mungkin kita perlu mengambil gambar di ruangan yang tidak ada cahaya atau terlalu gelap. Untuk menciptakan image yang bagus kita tentu membutuhkan lampu tambahan. Sebagian besar handycam menyertakan lampu internal yang kadang-kadang bisa disetel agar menyala secara otomatis pada kondisi kurang cahaya. Beberapa handycam juga menyertakan port untuk lampu eksternal.

Published in: on Agustus 31, 2008 at 5:06 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  

KAMUS FILM

Buat teman-teman yang belum tau tentang istilah dalam produksi sebuah film ini saya sempatkan untuk ngumpul beberapa istilah dalam film.Mungkin saja ada yang lewat di sebuah lokasi produksi film trus dengar kata ‘CUT’ yang keras dari sutradara teman-teman jangan lari dulu karena menganggap kalian akan di potong ato digunting,heee…bagi yang tahu lebih banyak istilah yang digunakan dalam film dapat memberi masukan demi perkembangan film kota kendari.GO FILM KENDARI

ini beberapa istilah film yang boleh kalian ketahui/

Anamorphic

Lensa yang digunakan dalam fotografi untuk memperkecil gambar wide screen ke ukuran 35 mm. Proses ini dibalik ketika memproyeksikan hasil akhir film, memunculkan gambar kembali ke ukuran normal pada layar lebar.

Aspect Ratio

Perbandingan antara lebar dan tinggi bingkai gambar (frame). Rasio untuk tayangan televisi adalah 1,33:1, artinya lebar frame yang muncul di televisi adalah 1,33 kali dari tinggi.

Available Light

Pengambilan gambar tanpa tambahan cahaya buatan manusia.

Animasi

Membuat film dengan merekam sekumpulan urutan gambar atau kartun, satu frame tiap satu satuan waktu, tiap gambar memiliki sedikit perbedaan sehingga ketika seluruh gambar diputar oleh proyektor pada kecepatan tertentu akan memunculkan pergerakan.

Boom Man

Individu yang mengoperasikan mikrofon boom yang menunjang mikrofon yang digunakan untuk merekam dialog dalam adegan.

Blow Up

Perbesaran ukuran film dari 16 mm ke 35 mm yang dilakukan di laboratorium untuk diputar di bioskop. Istilah ini juga dipergunakan dalam fotografi untuk memperbesar foto guna keperluan display atau promosi.

Best Boy

Asisten Gaffer atau asisten Key Grip.

Call Sheet

Pencatatan yang digunakan oleh asisten sutradara untuk selalu mengetahui individu yang dibutuhkan dalam proses pemfilman beserta waktunya. Kadang sebuah salinannya diberikan pada para aktor dalam film.

Camera Angle

Sudut Kamera. Ruang pandang kamera ketika sebuah set akan diambil gambarnya. Istilah tinggi, rendah dan lebar didasari oleh norma imajiner dengan perkiraan kamera 35 mm dengan lensa 2 inci (50 mm) mengarah pada adegan setinggi bahu.

Camera Report

Sebentuk salinan yang disimpan dalam tiap magazine film tempat asisten kameramen mencatat panjang pengambilan tiap adegan, nomer adegan dan perintah untuk mencetak atau tidak. Laporan kamera diberikan ke laboratorium proses, bagian kamera dan bagian produksi.

Camera Tracks (Lintasan Kamera)

Lintasan metal dan atau lembaran kayu lapis ukuran 4’ x 8’ yang diletakkan di lantai untuk membawa dolly atau camera boom. Lintasan digunakan untuk menjamin kehalusan gerakan kamera.

Casting Director

Orang yang memimpin pemilihan dan pengontrakan aktor untuk memenuhi bagian yang dibutuhkan dalam sebuah naskah.

Cinema Scope

Nama dagang untuk tujuan pemrosesan fotografi dan proyeksi yang mengikutsertakan kamera dengan lensa anamorfik atau proyektor dan layar berlekuk ekstra panjang. Memungkinkan proyeksi dari gambar yang jauh lebih besar dari ukuran biasanya. Banyak film epic dibuat dalam Cinema Scope karena pengaruh dari ukuran terhadap para penonton.

Cinematographer (Penata Fotografi)

Orang yang melaksanakan aspek teknis dari pencahayaan dan fotografi adegan. Sinematografer yang kreatif juga akan membantu sutradara dalam memilih sudut, penyusunan dan rasa dari pencahayaan dan kamera.

Composite Print

Film yang telah diedit, termasuk semua gambar, suara dan trek musik yang telah dicetak ke dalam sebuah film.

Cover Shot

Bagian dari pengambilan film untuk menyediakan materi transisi dari satu bagian ke bagian lain dalam sebuah adegan yang sama. Bisa juga digunakan sebagai gambar tambahan/cadangan kalau-kalau perekaman pertama tidak berhasil.

Cut

Sebagai tanda dari sutradara untuk mengakhiri suatu adegan yang di mainkan aktor/s dalam proses syuting

Day for Night

Adegan eksterior yang menggambarkan keadaan malam hari namun difilmkan pada saat siang hari, biasanya dengan alasan ekonomis. Penggunaan filter pada kamera akan menciptakan efek malam hari.

Dolly

Kendaraan beroda untuk membawa kamera dan operator kamera selama pengambilan gambar. Dolly biasanya dapat didorong dan diarahkan oleh satu orang yang disebut dolly grip.

Dubbing

Perekaman suara manusia secara sinkron dengan gambar film. Suaranya dimungkinkan berasal dari aktor yang sesungguhnya atau orang lain, baik dengan bahasa yang digunakan saat film diproduksi atau bahasa asing sebagai terjemahan. Dubbing biasanya diselesaikan denggan menggunakan film loops – bagian pendek dari sebuah gambar beserta dialognya dalam bentuk married print-. Aktor menggunakan gambar dan sound track playback sebagai panduan untuk mensinkronisasikan gerakan bibir dalam gambar dengan perekaman suara baru. Umumnya digunakan untuk memperbaiki perekaman asli yang buruk, performa artistik yang tidak dapat diterima atau kemungkinan kesalahan dalam dialognya. Juga digunakan untuk perekaman lagu dan versi bahasa lain setelah proses pemfilman.

Editor Film

Orang yang bertanggung jawab untuk mendapatkan seluruh potongan gambar dan mengaturnya ke dalam kesatuan yang koheren. Pada banyak kesempatan, seorang editor kreatif dapat menyelamatkan atau minimal meningkatkan versi akhir film.

Establishing Shot

Pengambilan jarak jauh, biasanya eksterior, yang menekankan keberadaan dari adegan (misalnya : letak geografi)

Footage

Unit pengukuran yang digunakan untuk film. Berarti juga stok gambar yang pernah direkam.

Frames per Second (fps)

Sebuah film 35 mm berputar dalam kamera dengan kecepatan normal menghasilkan 24 frame tiap detik sehingga bila lebih banyak frame yang diputar tiap detiknya, aksi dari subjek akan diperlambat ketika diproyeksikan dalam kecepatan normal. Bila lebih sedikit dari 24 frame yang diputar maka aksi tampak dipercepat bila diproyeksikan dengan kecepatan normal.

frog eyes

istilah untuk pergerakan kamera low angle secara ekstrim

Hand Held

Mengambil gambar dengan kamera ringan seperti Arriflex, Éclair, Beaulieu atau handycam, jenis yang dapat dioperasikan dengan tangan tanpa bantuan atau meletakkannya pada gear head dan tripod.

Jump Cut

Melakukan pemotongan dari suatu pengambilan gambar ke gambar lainnya pada sebuah film tanpa ada penyesuaian. Juga berarti berpindah dari long shot (pengambilan jarak jauh) ke close-up atau sebaliknya, tanpa ada perubahan pada sudut kamera.

Married Print

Gabungan antara track gambar dan suara setelah film selesai diedit. Istilah ini lebih digunakan untuk format film dan tidak dikenal dalam produksi dengan format video.

P. O. V.

Point of View (Sudut Pandang). Sudut kamera yang memperlihatkan apa yang dilihat oleh seseorang yang berada dalam film.

Reflector

Pemantul: sebentuk permukaan berlapis perak yang digunakan untuk merefleksikan / memantulkan cahaya. Untuk pengambilan film eksterior, pemantul sering digunakan untuk mengarahkan sinar matahari ke bagian dari adegan. Untuk pencahayaan interior, pemantul adalah bagian dari lampu studio yang digunakan untuk meningkatkan jumlah penerangan dari sebuah bola lampu.

Slow Motion

Mengekspose film lebih cepat dari standar 24 frame tiap detik sehingga ketika diproyeksikan dengan kecepatan normal maka aksi yang ada akan lebih lambat dari normal.

Sound Track

Pita kecil sepanjang film (pada pita seluloid) yang memuat suara dalam film. Pada kesempatan-kesempatan tertentu, misalnya pada suara stereofonik atau untuk pendistribusian di luar negeri dengan mempertahankan musik dan efek asli namun dilakukan penyulihan suara untuk dialognya, maka menggunakan lebih dari satu pita.

Stock Footage

Materi siap pakai: mulai dari newsreels, dokumenter dan fitur film, yang dipandang berguna untuk film lainnya. Tujuan penggunaan stock footage dari perpustakaan mungkin untuk otentisitas historis dan / atau biaya yang lebih rendah.

Story Board

Sejumlah sketsa yang menggambarkan aksi di dalam film, atau bagian khusus film yang disusun teratur pada papan buletin dan dilengkapi dengan dialog yang sesuai waktunya atau deskripsi adegan. Story board digunakan untuk mempermudah dan mempermurah pengambilan gambar.

Published in: Tidak Dikategorikan on Agustus 8, 2008 at 3:34 pm  Comments (1)  
Tags:

MMC Kendari Buat Pelatihan Film Dokumenter

MMC Kendari adalah komunitas film yang ada di kota kendari-sulawesi tenggara.

MMC bekerja sama denga Balai Teknologi Pendidikan SULTRA mengadakan pelatihan film dokumenter yang di tujukan buat siswa-siswi SMU/Sederajat di kota kendari yang punya minat buat mempelajari film dokumenter.Kegiatan diadakan pada tanggal 18 agustus 2008 di kantor Balai Teknologi Pendidikan.untuk kamu yang berminat bisa mendaftar di OSIS sekolah masing-masing.

Published in: Tidak Dikategorikan on Agustus 8, 2008 at 2:19 pm  Tinggalkan sebuah Komentar  
Tags: